Jumat, 20 Maret 2009

PELAJARAN KEJUJURAN, Galamedia, 16 Januari 2009


Oleh: Ajeng Kania

Di bulan Agustus 2008, KPK menerbitkan buku Pendidikan Anti-Korupsi untuk kalangan siswa di berbagai jenjang sekolah. Nilai-nilai anti-korupsi tersebut di antaranya disiplin, sederhana, kerja keras, tanggung jawab dan kejujuran.

Kejujuran serasa barang mahal. Hampir di berbagai sudut kehidupan terkontaminasi penyakit ketidakjujuran. Praktik kecurangan, sikap tidak sportif, ingin untung sendiri, dan menghalalkan berbagai macam cara tak peduli orang lain dirugikan. Di kalangan pedagang acapkali terlibat mengakali timbangan atau takaran, POM bensin memainkan tera, wasit dan atlet olahraga yang harusnya menjunjung sportivitas sering diberitakan terlibat suap, atau di kalangan pengusaha lumrah memberi pelicin demi memuluskan bisnis mereka. Sementara pejabat seharusnya amanah, jabatan digunakan memperkaya diri sendiri dengan korupsi. Fenomena aktual, praktik penipuan berkedok investasi cukup marak mampu menghipnotis masyarakat untuk berduyun-duyun menanamkan uangnya dengan cara mudah untuk disulap menjadi berlipat ganda.

Benih-benih ketidakjujuran atau ketidaksportivan harus direduksi agar tidak berkembang luas menjangkiti jiwa dan mental anak-anak. Hal itu bukan semata tugas guru agama, tapi lingkungan keluarga memegang kunci utama melahirkan anak yang berkarakter terpuji. Di samping itu lingkungan sekolah seharusnya menjadi kawah candradimuka untuk mencetak bukan saja generasi cerdas namun takwa dan memiliki ahlakul karimah.

membohongi diri

Beberapa praktik kecurangan dan sikap tidak sportif itu, ternyata dapat tumbuh dan berkembang ketika didukung oleh lingkungan yang menyertainya. Perilaku menyontek tampak sekilas adalah hal sepele. Namun bila diresapi hal dapat membuat mental ketergantungan, malas, dan tidak memiliki daya juang kompetitif. Menjiplak (copy-paste) pekerjaan milik teman cenderung menjadi gaya dan budaya jalan pintas ketika harus memenuhi tugas guru di sekolah, akibatnya materi tugas tsb tidak dipahaminya. Ada kebiasaan unik, beberapa siswa suka membuat catatan kecil bukan rangkuman untuk dihapal, namun dipersiapkan untuk bahan contekan ketika ujian. Hasil survey dilakukan Prof. Buchari Alma cukup mencengangkan, dari survey itu dihasilkan hampir seratus persen mahasiswa pernah menyontek dalam ujian dan lebih separuhnya sering menyontek. Kebiasaan itu ternyata bukan saja terjadi pada murid SD tapi cenderung menjadi kebiasaan di berbagai jenjang sekolah. (PR, 30/5).

Seorang anak melakukan kebohongan biasanya bukan tanpa maksud tertentu. Dalam buku Changing Children’s Behavior karya Helen dan John Krumboltz dinyatakan bahwa seorang anak belajar berkata jujur atau bohong tergantung pada konsekuensi yang akan timbul setelah ia melakukannya. Bila konsekuensi yang ia dapatkan dalam berkata bohong berupa reward (ganjaran atau hadiah), dapat dipastikan bahwa anak akan mengulangi perbuatan itu. Sebaliknya, bila diperoleh konsekuensi punishment (hukuman), anak akan cenderung berhenti berbohong. Dengan demikian kebohongan itu tidak menjadi kebiasaan yang dibawa sampai dewasa.

melahirkan kepercayaan
Jujur menurut buku Pendidikan Anti-Korupsi Kelas 1 SMP/MTs (2008:48) berarti adanya keseimbangan dalam pikiran, ucapan dan tindakan; mengakui apa adanya; tulus, tidak culas dan lurus hati. Kejujuran pada diri sendiri adalah kejujuran pada pengakuan diri bahwa diri kita memiliki kelebihan dan kekurangan. Anak harus diajari untuk jujur, sportif, dan bertanggung jawab. Hendaknya ditanamkan untuk tidak merasa gengsi bila benar-benar tidak tahu untuk berkata ”tidak tahu” dan minta diajarkan pada teman yang dirasa mampu. Kejujuran akan melahirkan kepercayaan.


Penulis, Ajeng Kania
Guru SDN Taruna Karya 04 Kec. Cibiru – Bandung

PENDIDIKAN ANAK BERBAKAT, Galamedia, 14 Nopember 2008


OLEH : AJENG KANIA

Siswa-siswi Indonesia mampu berprestasi di setiap pentas Olimpiade Sains internasional. Mereka bisa bersaing dan membawa pulang medali.


Menurut Ward (1980) dalam arti mikro, diperkirakan 1% (the top one tenth of 1 percent of the population) dari seluruh populasi bangsa terdiri orang berbakat (unggul). Diperkirakan satu persen dari populasi penduduk Indonesia yang rentang IQ (137< ke atas) merupakan manusia berbakat tinggi (highly gifted), sedangkan rentangnya antara 120-137, tercakup dalam rentang 10% di bawah satu persen itu disebut moderately gifted. Mereka inilah memiliki talenta akademik (academic talented) atau keberbakatan intelektual. Itu berarti dari jumlah 220 juta penduduk Indoensia ada sekitar 2,2 juta orang berbakat dalam arti intelektual.

Sayangnya, banyak sekali anak berbakat kurang mendapatkan perhatian sepenuhnya, karena memang terbelenggu oleh kurikulum yang berlaku. Pendidikan berkualitas ini tampaknya tidak dapat mengandalkan sepenuhnya kepada cara-cara yang menganut strategi massal dilakukan selama ini. Strategi ini menganggap bahwa semua anak didik adalah sama (identik) atau sekurang-kurangnya memiliki persamaan dalam kecepatan dan kemampuan belajar maupun perkembangan intelektualnya. Padahal dalam kenyataannya, kemampuan belajar mereka berbeda. Dalam strategi massal, siswa-siswa berbakat (unggul) muncul secara acak tidak mendapatkan layanan pendidikan secara khusus. Hal ini menyebabkan potensi intelektual dirinya kurang berkembang secara optimal.

Dalam buku Revolusi Cara Belajar II (The Learning Revolution), karya Gordon Dryden dan Jeannete Vos dikisahkan hampir saja Albert Einstein menjadi manusia gagal. Einstein kecil dikenal suka melamun. Guru-gurunya memvonis bahwa dia tidak akan pernah berhasil dalam bidang apapun. Begitu pun Thomas Alva Edison terpaksa harus dikeluarkan dari sekolahnya karena sejumlah pertanyaannya dianggap sering ’mempermainkan’ gurunya. Untunglah gaya belajar khas mereka, mampu diakomodasi orang dan lingkungan sekitarnya. Ibu Edison mampu menjadikan kegiatan belajar mengasyikan. Dia membuat permainan untuk mengajari anaknya dan membangkitkan Edison mengeksplorasi, bereksperimen dan mengajari dirinya sendiri.

Einstein dan Edison telah menemukan gaya belajar khas yang tidak sesuai dengan gaya sekolah mereka. Mereka mampu melewati hambatan dan mengubahnya menjadi tokoh besar berkontribusi bagi kemajuan dunia. Ketidaksesuaian semacam itu terus berlanjut hingga sekarang menimpa pada jutaan anak lainnya. Kalau tidak cermat, hal ini dapat menjadi pemicu kegagalan siswa bersekolah.

segera identifikasi
Dari dua kasus di atas, penjaringan anak berbakat seyogianya bagian tak terpisahkan dari program pendidikan nasional. Makin awal identifikasi anak berbakat, baik bakat intelektual maupun keberbakatan lainnya akan makin baik, karena besar kemungkinan anak mendapat bimbingan yang tepat dan menghindari salah perlakuan serta menghindari terjadinya penghamburan waktu, tenaga, modal dan intelektual siswa sebagai potensialitas untuk dikembangkan.

Agar identifikasi anak berbakat lebih objektif dan akurat, identifikasi ini diteruskan dengan tes psikologis yang telah dibakukan seperti tes intelegensi, tes kreativitas dan tes personaliti. Tentu saja tes ini harus dilakukan bersama psikolog sehingga interpretasinya dipertanggungjawabkan. Selain itu dapat juga dilakukan tes keberbakatan lain seperti bidang seni, kepemimpinan, atau olah raga dengan metode dan katerisistik masing-masing. Dengan bimbingan yang tepat, munculnya Einstein dan Edison baru dari negeri kita sebuah keniscayaan. Namun bimbingan saja tidak cukup, pemerintah dan swasta harus dapat menyediakan ruang beraktualisasi berupa fasilitas ketika mereka telah berhasil kelak.

Tanpa fasilitas, sistem, kesejahteraan, atmosfer dan relevansi pendidikan memadai, akan menyebabkan hijrahnya tenaga intelektual ke luar negeri (brain drain). Ini kerugian bagi bangsa! ! (**)

Penulis, Guru SDN Taruna Karya 04 – Cibiru –
Kota Bandung

SOSOK GURU PROFESIONAL, Galamedia, 26 September 2008


OLEH : AJENG KANIA

“Saya ingin menjadi “pengkhianat” terbesar tahun ini!” ucap pelatih sepakbola Rusia, Guus Hiddink menjelang pertandingan Rusia melawan Belanda yang tak lain negerinya sendiri di perempatfinal Piala Eropa 2008 beberapa bulan lalu.

Benarkah Hiddink seorang pengkhianat? Bila dimaknai sempit, boleh juga, buktinya tim Belanda harus menjinjing koper lebih pagi gara-gara ulah pelatih bertangan dingin ini. Kata “pengkhianat” dalam ucapan Hiddink di atas, tentu hanya sebuah metafora bukan dalam makna sesungguhnya. Hiddink bermaksud memotivasi anak asuhnya dengan menyuntikkan rasa keberanian menghadapi tim favorit, Belanda, maklum timnya masih trauma kalah oleh tim matador di laga perdananya.

Yang menarik penulis, bukan karena Rusia underdog bisa nyampei semifinal. Tapi Hiddink sebagai pelatih “profesional” mampu memosisikan diri antara profesionalisme dan kepentingan pribadi, termasuk nasionalisme. Sebagai seorang profesional, Hiddink tidak bimbang, ia bertanggung jawab pada timnya serta menjunjung sportivitas dan semangat fairplay. Untuk itu, Hiddink dibayar pantas sesuai kontrak yang telah disepakati.

Lalu bagaimana sebutan profesional bagi guru? Menurut KBBI, Guru diartikan sebagai orang yang pekerjaannya mengajar dan dimaknai sebagai tugas profesi. Untuk menjadi guru, seseorang harus memenuhi persyaratan profesional tertentu. Dalam hal ini, tidak semua orang bisa menjadi guru. Guru adalah pendidik yang menjadi tokoh, panutan dan identifikasi bagi siswa dan memiliki standar kualitas pribadi tertentu mencakup tanggung jawab, wibawa, mandiri dan disiplin.

Seperti Hiddink, guru tetap menjaga integritas, aturan, ataupun profesionalisme sekalipun diiming-imingi hal menggiurkan. Idealisme seorang guru jangan pudar karena rayuan sms, titipan, atau ”bisik-bisik tetangga”. Kode etik profesi sebagai rujukan perilaku guru harus menjadi pedoman guru dalam melaksakana tugas secara obyektif, mandiri, dan profesional.

Kasus jual-beli buku pelajaran di kelas apalagi dengan nuansa pemaksaan dan ancaman nilai pada siswa harus dihindari. Menjual buku adalah profesi seorang sales/agen penerbitan, bukan guru. Seorang sales dikatakan profesional bila mampu menjual sesuai target. Bagi guru, tentu bukan dalam kapasitas menjual buku dikatakan profesional. Dengan berkembangnya informasi dan pengetahuan, sudah seyogianya guru tidak terpaku pada satu sumber belajar tertentu, tetapi memadukan satu buku dengan buku lain bahkan media cetak atau elektronik untuk saling melengkapi dan mengisi sehingga materi pembelajaran diberikan lebih kaya, atraktif dan kreatif. Seorang guru profesional tidak mempersalahkan apapun sumber buku yang dipakai, tapi kepiawaian memberikan materi lebih menentukan keberhasilan pembelajaran.

Kode etik profesi
Bagaimana jika guru terlibat dalam pembocoran soal ujian, profesionalkah? Secara etika, perilaku tsb mencoreng koprs guru sebagai figur kejujuran, bersih, dan suri tauladan. Dilihat aspek hukum, jelas termasuk ranah pihak kepolisian. Tindakan itu kerap terjadi sebagai upaya jalan pintas (shortkey) untuk mendongkrak angka kelulusan siswa. Tindakan itu tidak elegan dan tentu tidak profesional. Harusnya upaya meningkatkan prestasi siswa dilakukan oleh kesungguhan guru dan siswa dengan memberikan pengayaan, les, tugas, atau bimbingan belajar.

Guru profesional tentu segala perilaku diletakkan sesuai kode etik profesi. Sebutan profesi pada guru mengandung arti bahwa profesi guru tidak dapat dipegang oleh sembarang orang, tetapi memerlukan suatu persiapan melalui pendidikan dan pelatihan. Sementara profesional merujuk kepada penampilan seseorang dalam unjuk kerja.

Guru profesional akan tercermin dari tanggung jawabnya dan dedikasi pengabdiannya sebagai pribadi, sosial, intelektual, moral dan spiritual. Guru harus mampu memahami, mengelola, menghargai dan mengendalikan dirinya sendiri. Sebagai bagian masyarakat guru harus memberikan pengaruh positif, mencerahkan dan figur di masyarakat. Guru pun harus memiliki wawasan pengetahuan dan intelektual yang baik, tidak lekas puas, tetapi terus belajar dan mau berubah. Sebagai pertanggungjawaban moral dan spiritual diwujudkan oleh penampilan guru sebagai mahluk beragama yang senantiasa tidak menyimpang dari norma agama dan moral.

Sama seperti Hiddink, sebagai profesional guru pun layak dibayar pantas oleh masyarakat dan pemerintah, baik pengakuan atas martabat dan citra profesi guru maupun penghargaan imbalan materi yang memadai. (**)

Penulis, Guru Penjaskes
SDN Taruna Karya 04, Kec.
Cibiru – Bandung

REFLEKSI HARI PENDIDIKAN NASIONAL MENGUBAH WAJAH BANGSA MELALUI PENDIDIKAN, Galamedia, 6 Mei 2008


OLEH : AJENG KANIA

Ketika Uni Soviet berhasil mengorbitkan satelit Sputnik ke ruang angkasa tahun 1957, Presiden AS, John F. Kennedy bak tertampar muka, “Apa yang salah dengan dunia pendidikan kita?”

Keberhasilan rivalnya memaksa Kennedy bertindak cepat. Ia segera melakukan terobosan yakni memerintahkan penelusuran bakat dan potensi anak melalui program disebut “talent scouting” serta kembali menata dunia pendidikan AS dengan meningkatkan mutu pendidikan dan kesejahteraan pendidiknya. Hasilnya? Dalam kurun sepuluh tahun (1969), kerja kerasnya membuahkan hasil, AS tercatat sebagai negara pertama menjejakkan kakinya di bulan.

Sementara bangsa kita saat ini masih terjebak dalam pergumulan mencari identitas berkepanjangan. Di kalangan elite, terjadi cakar-mencakar dan saling menjatuhkan. Praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme tak kunjung mereda. Praktik kecurangan merasuki perikehidupan sehari-hari di masyarakat seolah menjadi hal lumrah adanya. Masyarakat pun mudah tersulut amarah, kebencian, iri dan dendam. Energi bangsa Indonesia terkuras oleh karut-marut perebutan kepentingan yang membuat bangsa ini sulit melangkah. Melihat potret bangsa di atas, memunculkan pertanyaan, apa yang “kurang” dengan pendidikan kita?

bangsa yang cerdas
Bangsa Indonesia sudah disegani dan termasuk bangsa berintelektual tinggi sejak zaman dulu. Di zaman Sriwijaya sudah menjadi salah satu pusat pendidikan terkenal, dikunjungi pelajar dari berbagai bangsa. Kerajaan Majapahit pun demikian, Mpu Prapanca dalam kitab ”Negarakertagama” (ditulis 1365 M) menggambarkan keluhuran budaya Majapahit dengan cita rasa halus dalam seni, sastra, juga kemajuan dalam kehidupan masyarakatnya sehingga disegani oleh bangsa-bangsa lain.

Hebatnya orang Indonesia, menurut buku Genom, yang ditulis Matt Ridley, ada nama Joe-Hin Tjio. Disebutkan Joe, orang Indonesia, telah berperan penting dalam upaya mengurai sandi-sandi yang tersimpan dalam DNA. Berkat temuannya itu, kini para ahli berhasil membaca karakter-karakter apa yang disimpan pada setiap pasang dari 23 sel kromosom manusia, mulai kecerdasan, konflik, stress, kepribadian, seks sampai kemampuan merakit diri.

Kemudian Yohanes Surya membawa putra-putri Indonesia asal Papua, Sumatera, Sulawesi, Kalimantan dan Pulau Jawa, dalam tim olimpiade fisika Indonesia (TOFI) ternyata mereka tidak kalah pintar dengan bangsa asing. Kabar terbaru, tim fisika asuhan Surya menutup Olimpiade Fisika Asia (APHO) IX di Ulan Bator, Mongolia (20-28 April 2008) dengan prestasi mengesankan merebut 3 emas dan menempatkan Adam Badra Cahya (SMAN 1 Jember) meraih nilai tertinggi dalam olimpiade itu.


pendidikan sebagai panglima

Akan tetapi, bangsa kita belum menjadikan pendidikan sebagai panglima. Ada kesan setengah hati ketika dituntut konstitusi menganggarkan biaya pendidikan 20% APBN. Hal itu dibuktikan begitu alot dan melelahkan memutuskan besaran anggaran pendidikan negeri ini. Padahal sejujurnya, ibarat dagang, pendidikan merupakan investasi jangka panjang yang menguntungkan, bukan saja “balik modalnya”, namun pelakunya jadi punya pengalaman , punya relasi, juga ruko tempat usaha pun akhirnya terbeli. Pendidikan merupakan hal paling fundamental, karena pendidikan menyentuh akar-akar kehidupan untuk mengubah dan menentukan kualitas hidup manusia.

Dengan anggaran memadai, tentunya mutu pendidikan dapat ditingkatkan. Sarana pendidikan, baik gedung sekolah, laboratorium, perpustakaan, alat peraga, maupun buku akan lebih representatif dalam menunjang proses pembelajaran. Guru-guru memperoleh kesempatan meningkatkan kualifikasi dan kompetensi, termasuk penghasilan memadai. Pemberian penghargaan terhadap guru dan siswa berprestasi digalakkan, seperti: beasiswa, dukungan melanjutkan studi, angka kredit, dsb sehingg memotivasi mereka berprestasi.

Tentunya, pendidikan bukan hanya mencetak manusia cerdas, namun ber-akhlakul karimah sehingga memberikan kontribusi bagi peningkatan kualitas moral dan spiritual bangsa. Untuk itulah, dunia pendidikan berikut stake-holder-nya harus menjadi institusi terdepan sebagai institusi bersih, dipercaya, dan berwibawa sehingga menjadi teladan bagi lembaga lain dalam menciptakan pemerintahan bersih dan berwibawa (good government). Proses di lingkungan dunia pendidikan seperti: rekrutmen pegawai/guru, kenaikan jenjang karier/mutasi, proses penerimaan/kelulusan siswa, dsb harus mencerminkan perilaku teladan bagi masyarakat dengan mengedepankan asas objektivitas, adil dan transparan. Habituasi ini penting mengingat dunia pendidikan menempati posisi strategis untuk mengubah wajah bangsa lebih bermartabat melalui perubahan cara berpikir dan berperilaku masyarakatnya.

Untuk memberikan pelajaran moral tentu guru-guru harus jadi panutan dan teladan. Pembinaan moral di sekolah dapat dilakukan melalui kegiatan bimbingan dan konseling atau pendekatan pada setiap mata pelajaran. Sementara pelajaran agama tidak berhenti pada upaya penyalehan individu, tetapi diperluas pada upaya penyalehan sosial-kemasyarakatan. Dengan sentuhan hati nurani ini diharapkan nilai-nilai moral terkandung dalam ajaran agama dapat membumi dan diaktualisasikan dalam kehidupan sehari-hari. Kebiasaan yang dilakukan siswa sejak dini memiliki signifikansi terhadap perilaku mereka di masa depan.

Dengan terbentuknya generasi madani, bukan saja cerdas intelektualnya namun memiliki kecerdasan spiritual (SQ) dan kecerdasan emosi (EQ) terintegrasi diharapkan bangsa ini keluar dari multi-krisis berlarut-larut. Pendidikan terintegrasi membentuk manusia paripurna yang cerdas, jujur, amanah, dinamis, dan mengedepankan kepentingan bangsa dibanding kelompoknya. Dengan masyarakat madani terbentuk, kita memiliki energi yang cukup untuk melahirkan karya-karya fenomenal membanggakan. Kontribusi terhadap masyarakat dunia, membuat bangsa kita kembali disegani seperti AS dan Soviet, bukan?

Selamat Hardiknas, 2 Mei 2008!! (**)

Penulis,
Guru SDN Taruna Karya 04,
Kec. Cibiru – Bandung,
Pengurus AGP PGRI Jawa Barat

KOPERASI SYARIAH ALTERNATIF PEMBERDAYAAN MASYARAKAT, Galamedia, 14 Oktober 2008

OLEH : AJENG KANIA

Kita lebih kenal koperasi konvensional dibandingkan jenis syariah. Bila koperasi konvensional cenderung bersifat konsumtif, maka koperasi syariah mendorong anggotanya memanfaatkan dananya untuk kegiatan produktif. Sebuah solusi alternatif untuk memberdayakan masyarakat dan mengurangi pengangguran.

Koperasi didirikan sebagai usaha bersama untuk membebaskan rakyat dari jeratan lintah darat. Saat itu R. Aria Wiriatmadja di Purwokerto, Jawa Tengah (1896) mulai menerapkan sistem koperasi, Islamiah yang menjadi acuan. Akan tetapi, praktik tak Islami menerobos ke dalamnya terutama pengaruh campur tangan pemerintah kolonial yang mencurigai sebagai sumbu perlawanan rakyat pribumi.

Sebenarnya, mempraktikan koperasi perintah Allah SWT. Firman Allah SWT dalam (QS 59 : 7), Allah melarang berputarnya harta (modal) di kalangan orang-orang kaya saja. Merujuk pada ayat ini, aktivitas perekonomian hendaknya melibatkan partisipasi aktif dari kelompok masyarakat menengah ke bawah, sebagai mayoritas penduduk Indonesia. Usaha kecil dan menengah telah teruji mampu bertahan di situasi krisi sekalipun sekaligus mampu menyediakan lapangan pekerjaan bagi keluarga miskin dan mengurangi pengagguran.

Meskipun mengklaim bangsa religius, akan tetapi sering dijumpai berbagai anomali. Contoh sederhana, pengesahan RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi (APP) atau pelabelan halal pada produk pangan untuk memberi kepastian konsumen ternyata masih berliku dan panjang. Padahal implementasi substansi kedua produk hukum itu dinilai ampuh melindungi kepentingan umat dari dekadensi moral maupun kepastian hukum halal-haram. Begitu pun, koperasi syariah merupakan barang baru, belum membumi di kalangan umat muslim kita. Pengembangan dalam skala massal masih tersendat-sendat.

Koperasi pola syariah ini baru menggeliat di tahun 2003. Fenomena menggembirakan, kini diikuti oleh hadirnya lembaga keuangan syariah seperti: bank syariah atau BPR syariah. Pada pola syariah tidak membebani anggotanya dengan bunga tapi pola bagi hasil keuntungan. Lebih jauhnya, koperasi jenis ini mampu menggali dan menggenjot pemberdayaan ekonomi di pedesaan, memunculkan investasi, membuka kesempatan kerja, membentuk entrepreneur (wirausahawan), meningkatkan daya-beli masyarakat pedesaan, serta pengelolaan ekonomi berbasis kesalehan sosial. Dengan pemberdayaan kegiatan pengembangan usaha, sehingga modal berkembang dan dapat mengangkat harkat dan kualitas hidup seseorang.

Hal ini sangat berbeda dengan koperasi konvensional yang mengarahkan anggotanya menggunakan dana pinjaman bagi sesuatu tidak kembali (konsumtif), seperti:membeli elektronika, perabotan rumah tangga, meubel hingga kendaraan. Pada akhirnya memberatkan keuangan keluarga dengan terpangkasnya sumber pendapatan untuk menopang kehidupan selanjutnya dan beban bunga atas pinjaman tersebut.

menggali potensi umat
Pemberdayaan koperasi syariah sangat strategis sebab bangsa Indonesia sebagian besar penduduknya muslim. Namun mereka kurang tersentuh oleh program pemberdayaan ekonomi masyarakat sehingga kemiskinan masih menjadi potret kehidupan masyarakat. Sebenarnya banyak warga yang memiliki keahlian di bidang tertentu, akan tetapi ketiadaan modal, kesempatan dan informasi membuat bakat dan kecakapan mereka terkubur begitu saja. Ketiadaan ruang beraktualisasi sangat disayangkan, padahal sejatinya potensi itu merupakan sumber energi berupa sumber daya manusia yang dibutuhkan oleh bangsa untuk membangun.

Langkah awal dan mendasar untuk membangun potensi kekuatan umat dalam koperasi syariah dapat dilakukan di mesjid-mesjid dan pesantren atau rukun warga (RW) dan kelurahan. Untuk itu perlu beberapa langkah yang harus ditempuh pengurus mesjid atau lingkungan warga, seperti :
(a) memiliki data potensi jamaah atau warga meliputi data warga mampu atau miskin, mata pencaharian, dan latar belakang pendidikan maupun data standar seperti usia, jenis kelamin, dsb.
(b) mendata potensi ekonomi lingkungan sekitar. Analisis ini untuk menggiring pemilihan bentuk aktivitas ekonomi yang tepat. Apabila di pedesaan dengan mayoritas petani, dapat dikembangkan usaha pupuk atau alat-alat pertanian.
(c) menggandeng mitra dari bank Syariah atau BPRS Syariah atau Lembaga Keuangan Syariah. Hal ini penting untuk media syiar atau dakwah, memperluas pasar, dan tambahan sumber pembiayaan bagi koperasi.
(d) memperkuat jaringan ekonomi. Jaringan sangat penting sumber kekuatan umat dan sumber energi bagi koperasi bergerak dinamis

Kalau kita telaah, koperasi pola syariah bukan saja membebaskan rakyat dari jeratan rentenir, tapi memberdayakan masyarakat sehingga bermartabat. Pada gilirannya, kemakmuran rakyat bukan sekadar impian, namun mendekati kenyataan. (**)

Penulis,
Guru SDN Taruna Karya 04 Cibiru – Kota Bandung