Jumat, 20 Maret 2009

PELAJARAN KEJUJURAN, Galamedia, 16 Januari 2009


Oleh: Ajeng Kania

Di bulan Agustus 2008, KPK menerbitkan buku Pendidikan Anti-Korupsi untuk kalangan siswa di berbagai jenjang sekolah. Nilai-nilai anti-korupsi tersebut di antaranya disiplin, sederhana, kerja keras, tanggung jawab dan kejujuran.

Kejujuran serasa barang mahal. Hampir di berbagai sudut kehidupan terkontaminasi penyakit ketidakjujuran. Praktik kecurangan, sikap tidak sportif, ingin untung sendiri, dan menghalalkan berbagai macam cara tak peduli orang lain dirugikan. Di kalangan pedagang acapkali terlibat mengakali timbangan atau takaran, POM bensin memainkan tera, wasit dan atlet olahraga yang harusnya menjunjung sportivitas sering diberitakan terlibat suap, atau di kalangan pengusaha lumrah memberi pelicin demi memuluskan bisnis mereka. Sementara pejabat seharusnya amanah, jabatan digunakan memperkaya diri sendiri dengan korupsi. Fenomena aktual, praktik penipuan berkedok investasi cukup marak mampu menghipnotis masyarakat untuk berduyun-duyun menanamkan uangnya dengan cara mudah untuk disulap menjadi berlipat ganda.

Benih-benih ketidakjujuran atau ketidaksportivan harus direduksi agar tidak berkembang luas menjangkiti jiwa dan mental anak-anak. Hal itu bukan semata tugas guru agama, tapi lingkungan keluarga memegang kunci utama melahirkan anak yang berkarakter terpuji. Di samping itu lingkungan sekolah seharusnya menjadi kawah candradimuka untuk mencetak bukan saja generasi cerdas namun takwa dan memiliki ahlakul karimah.

membohongi diri

Beberapa praktik kecurangan dan sikap tidak sportif itu, ternyata dapat tumbuh dan berkembang ketika didukung oleh lingkungan yang menyertainya. Perilaku menyontek tampak sekilas adalah hal sepele. Namun bila diresapi hal dapat membuat mental ketergantungan, malas, dan tidak memiliki daya juang kompetitif. Menjiplak (copy-paste) pekerjaan milik teman cenderung menjadi gaya dan budaya jalan pintas ketika harus memenuhi tugas guru di sekolah, akibatnya materi tugas tsb tidak dipahaminya. Ada kebiasaan unik, beberapa siswa suka membuat catatan kecil bukan rangkuman untuk dihapal, namun dipersiapkan untuk bahan contekan ketika ujian. Hasil survey dilakukan Prof. Buchari Alma cukup mencengangkan, dari survey itu dihasilkan hampir seratus persen mahasiswa pernah menyontek dalam ujian dan lebih separuhnya sering menyontek. Kebiasaan itu ternyata bukan saja terjadi pada murid SD tapi cenderung menjadi kebiasaan di berbagai jenjang sekolah. (PR, 30/5).

Seorang anak melakukan kebohongan biasanya bukan tanpa maksud tertentu. Dalam buku Changing Children’s Behavior karya Helen dan John Krumboltz dinyatakan bahwa seorang anak belajar berkata jujur atau bohong tergantung pada konsekuensi yang akan timbul setelah ia melakukannya. Bila konsekuensi yang ia dapatkan dalam berkata bohong berupa reward (ganjaran atau hadiah), dapat dipastikan bahwa anak akan mengulangi perbuatan itu. Sebaliknya, bila diperoleh konsekuensi punishment (hukuman), anak akan cenderung berhenti berbohong. Dengan demikian kebohongan itu tidak menjadi kebiasaan yang dibawa sampai dewasa.

melahirkan kepercayaan
Jujur menurut buku Pendidikan Anti-Korupsi Kelas 1 SMP/MTs (2008:48) berarti adanya keseimbangan dalam pikiran, ucapan dan tindakan; mengakui apa adanya; tulus, tidak culas dan lurus hati. Kejujuran pada diri sendiri adalah kejujuran pada pengakuan diri bahwa diri kita memiliki kelebihan dan kekurangan. Anak harus diajari untuk jujur, sportif, dan bertanggung jawab. Hendaknya ditanamkan untuk tidak merasa gengsi bila benar-benar tidak tahu untuk berkata ”tidak tahu” dan minta diajarkan pada teman yang dirasa mampu. Kejujuran akan melahirkan kepercayaan.


Penulis, Ajeng Kania
Guru SDN Taruna Karya 04 Kec. Cibiru – Bandung

Tidak ada komentar:

Posting Komentar