Jumat, 20 Maret 2009

SOSOK GURU PROFESIONAL, Galamedia, 26 September 2008


OLEH : AJENG KANIA

“Saya ingin menjadi “pengkhianat” terbesar tahun ini!” ucap pelatih sepakbola Rusia, Guus Hiddink menjelang pertandingan Rusia melawan Belanda yang tak lain negerinya sendiri di perempatfinal Piala Eropa 2008 beberapa bulan lalu.

Benarkah Hiddink seorang pengkhianat? Bila dimaknai sempit, boleh juga, buktinya tim Belanda harus menjinjing koper lebih pagi gara-gara ulah pelatih bertangan dingin ini. Kata “pengkhianat” dalam ucapan Hiddink di atas, tentu hanya sebuah metafora bukan dalam makna sesungguhnya. Hiddink bermaksud memotivasi anak asuhnya dengan menyuntikkan rasa keberanian menghadapi tim favorit, Belanda, maklum timnya masih trauma kalah oleh tim matador di laga perdananya.

Yang menarik penulis, bukan karena Rusia underdog bisa nyampei semifinal. Tapi Hiddink sebagai pelatih “profesional” mampu memosisikan diri antara profesionalisme dan kepentingan pribadi, termasuk nasionalisme. Sebagai seorang profesional, Hiddink tidak bimbang, ia bertanggung jawab pada timnya serta menjunjung sportivitas dan semangat fairplay. Untuk itu, Hiddink dibayar pantas sesuai kontrak yang telah disepakati.

Lalu bagaimana sebutan profesional bagi guru? Menurut KBBI, Guru diartikan sebagai orang yang pekerjaannya mengajar dan dimaknai sebagai tugas profesi. Untuk menjadi guru, seseorang harus memenuhi persyaratan profesional tertentu. Dalam hal ini, tidak semua orang bisa menjadi guru. Guru adalah pendidik yang menjadi tokoh, panutan dan identifikasi bagi siswa dan memiliki standar kualitas pribadi tertentu mencakup tanggung jawab, wibawa, mandiri dan disiplin.

Seperti Hiddink, guru tetap menjaga integritas, aturan, ataupun profesionalisme sekalipun diiming-imingi hal menggiurkan. Idealisme seorang guru jangan pudar karena rayuan sms, titipan, atau ”bisik-bisik tetangga”. Kode etik profesi sebagai rujukan perilaku guru harus menjadi pedoman guru dalam melaksakana tugas secara obyektif, mandiri, dan profesional.

Kasus jual-beli buku pelajaran di kelas apalagi dengan nuansa pemaksaan dan ancaman nilai pada siswa harus dihindari. Menjual buku adalah profesi seorang sales/agen penerbitan, bukan guru. Seorang sales dikatakan profesional bila mampu menjual sesuai target. Bagi guru, tentu bukan dalam kapasitas menjual buku dikatakan profesional. Dengan berkembangnya informasi dan pengetahuan, sudah seyogianya guru tidak terpaku pada satu sumber belajar tertentu, tetapi memadukan satu buku dengan buku lain bahkan media cetak atau elektronik untuk saling melengkapi dan mengisi sehingga materi pembelajaran diberikan lebih kaya, atraktif dan kreatif. Seorang guru profesional tidak mempersalahkan apapun sumber buku yang dipakai, tapi kepiawaian memberikan materi lebih menentukan keberhasilan pembelajaran.

Kode etik profesi
Bagaimana jika guru terlibat dalam pembocoran soal ujian, profesionalkah? Secara etika, perilaku tsb mencoreng koprs guru sebagai figur kejujuran, bersih, dan suri tauladan. Dilihat aspek hukum, jelas termasuk ranah pihak kepolisian. Tindakan itu kerap terjadi sebagai upaya jalan pintas (shortkey) untuk mendongkrak angka kelulusan siswa. Tindakan itu tidak elegan dan tentu tidak profesional. Harusnya upaya meningkatkan prestasi siswa dilakukan oleh kesungguhan guru dan siswa dengan memberikan pengayaan, les, tugas, atau bimbingan belajar.

Guru profesional tentu segala perilaku diletakkan sesuai kode etik profesi. Sebutan profesi pada guru mengandung arti bahwa profesi guru tidak dapat dipegang oleh sembarang orang, tetapi memerlukan suatu persiapan melalui pendidikan dan pelatihan. Sementara profesional merujuk kepada penampilan seseorang dalam unjuk kerja.

Guru profesional akan tercermin dari tanggung jawabnya dan dedikasi pengabdiannya sebagai pribadi, sosial, intelektual, moral dan spiritual. Guru harus mampu memahami, mengelola, menghargai dan mengendalikan dirinya sendiri. Sebagai bagian masyarakat guru harus memberikan pengaruh positif, mencerahkan dan figur di masyarakat. Guru pun harus memiliki wawasan pengetahuan dan intelektual yang baik, tidak lekas puas, tetapi terus belajar dan mau berubah. Sebagai pertanggungjawaban moral dan spiritual diwujudkan oleh penampilan guru sebagai mahluk beragama yang senantiasa tidak menyimpang dari norma agama dan moral.

Sama seperti Hiddink, sebagai profesional guru pun layak dibayar pantas oleh masyarakat dan pemerintah, baik pengakuan atas martabat dan citra profesi guru maupun penghargaan imbalan materi yang memadai. (**)

Penulis, Guru Penjaskes
SDN Taruna Karya 04, Kec.
Cibiru – Bandung

Tidak ada komentar:

Posting Komentar