Rabu, 15 September 2010

Pentingnya Menanamkan Cita-cita, Galamedia, 20 Nov 2009


Oleh: AJENG KANIA

"Modal pertama yang Anda miliki adalah cita-cita. Cita-cita adalah soal sederhana, tetapi sebagian besar penduduk bumi paling malas memastikan cita-citanya. Bahkan para lulusan perguruan tinggi terbaik pun sebagian besar belum tahu ke mana arah perjalanan hidup mereka selanjutnya" (Philip E. Humbert)

DIDI Widiatmoko (Didi Petet) malah bingung ketika lulus SMA. Ia tidak memiliki cita-cita. Ayahnya ingin dirinya meneruskan kuliah di ITB. Tapi Didi tidak suka matematika, juga tidak suka IPA. Ia tidak menyenangi mekanika dan kimia. Akibatnya, ia harus istirahat sekolah selama dua tahun. Pertemanan dengan Harry Roesli membawanya main opera dan mampu menggugah mata hatinya. Saat itu Didi baru menyadari, dirinya lebih nyaman di dunia seni dan teater. Didi pun masuk Institut Kesenian Jakarta (IKJ) dan kini sukses sebagai aktor dan tercatat sebagai dosen di almamaternya.

Lain lagi dengan Pak SBY. Pak SBY kecil sangat terkesan kegagahan dan kedisiplinan taruna saat diajak sang ayah berkunjung ke Kesatriaan AMN di Magelang tahun 1961. Kejadian itu seketika menyalakan cita-citanya untuk menjadi tentara. Meskipun melalui pendidikan dan latihan berat, namun ia merasa senang dan hal itu dilalui dengan suka hati.

Dari dua contoh di atas, ternyata cita-cita dapat muncul melalui kejadian yang membekas, sehingga terpatri dan menjadi obsesi untuk diraih. Momen inspiring bisa diperoleh melalui pengalaman, eksplorasi, diskusi atau membaca cerita tokoh-tokoh hebat yang mengagumkan. Situasi ini akan menggugah siswa untuk mengagumi dan menumbuhkan cita-citanya. Peristiwa tersebut dapat mengubah drastis perangai siswa, yang awalnya pemurung dan malas, menjadi ceria dan bersemangat.

Tanpa tujuan, sering dijumpai siswa mengeluh karena kesulitan mengikuti suatu pelajaran di kelas. Akibatnya ia tidak menyenangi kegiatan belajar. Menganggap belajar sebagai sebuah beban. Hal ini bisa jadi diakibatkan guru yang tidak berhasil mengeksplorasi kelas sehingga suasana menjemukan. Lebih lanjut, dampak psikologis seperti membuat siswa membenci belajar akan menggiring pada kegagalan di kemudian hari.

Guru memiliki kewajiban untuk terus memotivasi dan menjaga semangat belajar siswa. Pembelajaran menggugah sangat penting diberikan guru untuk membukakan mata hati siswa. Siswa akan disadarkan tentang bakat dan talentanya sehingga mampu belajar dengan senang hati. Juga memandu mereka untuk memiliki cita-cita sesuai hobi dan bakatnya. Peristiwa menggugah harus dinyalakan agar siswa dapat memantapkan cita-citanya. Menentukan cita-cita meskipun hal sulit, tapi harus diupayakan dan dipantik agar siswa memiliki motivasi untuk meraihnya.

Untuk memberikan pelajaran yang bisa menggugah, dalam memberikan pembelajaran guru harus kreatif dan variatif. Selain pelajaran di kelas, pembelajaran berupa kunjungan, seperti ke museum, lembaga, institusi atau taman konservasi harus disisipkan. Hal ini akan memperkaya pengetahuan dan pengalaman siswa, sekaligus menggugah potensi siswa. Selain dengan kisah guru, siswa pun harus rajin membaca buku di perpustakaan, surat kabar maupun bacaan digital yang dapat memberi pencerahan dan pengayaan pengetahuan. Semakin banyak informasi diperoleh akan semakin terbuka mata hatinya menentukan pilihan cita-citanya. Memiliki cita-cita sejak dini akan sangat bermanfaat dan mudah bagi orangtua maupun guru untuk mengarahkan. Sebaliknya, banyak kegagalan dialami orang, karena tidak bisa mengeksplorasi bakat dan cita-citanya. Benar kata Humbert, cita-cita modal pertama untuk suskes. (Penulis, guru SDN Cibiru 5 Kec. Cibiru, Bandung)**

Tidak ada komentar:

Posting Komentar