Jumat, 20 Maret 2009

REFLEKSI HARI PENDIDIKAN NASIONAL MENGUBAH WAJAH BANGSA MELALUI PENDIDIKAN, Galamedia, 6 Mei 2008


OLEH : AJENG KANIA

Ketika Uni Soviet berhasil mengorbitkan satelit Sputnik ke ruang angkasa tahun 1957, Presiden AS, John F. Kennedy bak tertampar muka, “Apa yang salah dengan dunia pendidikan kita?”

Keberhasilan rivalnya memaksa Kennedy bertindak cepat. Ia segera melakukan terobosan yakni memerintahkan penelusuran bakat dan potensi anak melalui program disebut “talent scouting” serta kembali menata dunia pendidikan AS dengan meningkatkan mutu pendidikan dan kesejahteraan pendidiknya. Hasilnya? Dalam kurun sepuluh tahun (1969), kerja kerasnya membuahkan hasil, AS tercatat sebagai negara pertama menjejakkan kakinya di bulan.

Sementara bangsa kita saat ini masih terjebak dalam pergumulan mencari identitas berkepanjangan. Di kalangan elite, terjadi cakar-mencakar dan saling menjatuhkan. Praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme tak kunjung mereda. Praktik kecurangan merasuki perikehidupan sehari-hari di masyarakat seolah menjadi hal lumrah adanya. Masyarakat pun mudah tersulut amarah, kebencian, iri dan dendam. Energi bangsa Indonesia terkuras oleh karut-marut perebutan kepentingan yang membuat bangsa ini sulit melangkah. Melihat potret bangsa di atas, memunculkan pertanyaan, apa yang “kurang” dengan pendidikan kita?

bangsa yang cerdas
Bangsa Indonesia sudah disegani dan termasuk bangsa berintelektual tinggi sejak zaman dulu. Di zaman Sriwijaya sudah menjadi salah satu pusat pendidikan terkenal, dikunjungi pelajar dari berbagai bangsa. Kerajaan Majapahit pun demikian, Mpu Prapanca dalam kitab ”Negarakertagama” (ditulis 1365 M) menggambarkan keluhuran budaya Majapahit dengan cita rasa halus dalam seni, sastra, juga kemajuan dalam kehidupan masyarakatnya sehingga disegani oleh bangsa-bangsa lain.

Hebatnya orang Indonesia, menurut buku Genom, yang ditulis Matt Ridley, ada nama Joe-Hin Tjio. Disebutkan Joe, orang Indonesia, telah berperan penting dalam upaya mengurai sandi-sandi yang tersimpan dalam DNA. Berkat temuannya itu, kini para ahli berhasil membaca karakter-karakter apa yang disimpan pada setiap pasang dari 23 sel kromosom manusia, mulai kecerdasan, konflik, stress, kepribadian, seks sampai kemampuan merakit diri.

Kemudian Yohanes Surya membawa putra-putri Indonesia asal Papua, Sumatera, Sulawesi, Kalimantan dan Pulau Jawa, dalam tim olimpiade fisika Indonesia (TOFI) ternyata mereka tidak kalah pintar dengan bangsa asing. Kabar terbaru, tim fisika asuhan Surya menutup Olimpiade Fisika Asia (APHO) IX di Ulan Bator, Mongolia (20-28 April 2008) dengan prestasi mengesankan merebut 3 emas dan menempatkan Adam Badra Cahya (SMAN 1 Jember) meraih nilai tertinggi dalam olimpiade itu.


pendidikan sebagai panglima

Akan tetapi, bangsa kita belum menjadikan pendidikan sebagai panglima. Ada kesan setengah hati ketika dituntut konstitusi menganggarkan biaya pendidikan 20% APBN. Hal itu dibuktikan begitu alot dan melelahkan memutuskan besaran anggaran pendidikan negeri ini. Padahal sejujurnya, ibarat dagang, pendidikan merupakan investasi jangka panjang yang menguntungkan, bukan saja “balik modalnya”, namun pelakunya jadi punya pengalaman , punya relasi, juga ruko tempat usaha pun akhirnya terbeli. Pendidikan merupakan hal paling fundamental, karena pendidikan menyentuh akar-akar kehidupan untuk mengubah dan menentukan kualitas hidup manusia.

Dengan anggaran memadai, tentunya mutu pendidikan dapat ditingkatkan. Sarana pendidikan, baik gedung sekolah, laboratorium, perpustakaan, alat peraga, maupun buku akan lebih representatif dalam menunjang proses pembelajaran. Guru-guru memperoleh kesempatan meningkatkan kualifikasi dan kompetensi, termasuk penghasilan memadai. Pemberian penghargaan terhadap guru dan siswa berprestasi digalakkan, seperti: beasiswa, dukungan melanjutkan studi, angka kredit, dsb sehingg memotivasi mereka berprestasi.

Tentunya, pendidikan bukan hanya mencetak manusia cerdas, namun ber-akhlakul karimah sehingga memberikan kontribusi bagi peningkatan kualitas moral dan spiritual bangsa. Untuk itulah, dunia pendidikan berikut stake-holder-nya harus menjadi institusi terdepan sebagai institusi bersih, dipercaya, dan berwibawa sehingga menjadi teladan bagi lembaga lain dalam menciptakan pemerintahan bersih dan berwibawa (good government). Proses di lingkungan dunia pendidikan seperti: rekrutmen pegawai/guru, kenaikan jenjang karier/mutasi, proses penerimaan/kelulusan siswa, dsb harus mencerminkan perilaku teladan bagi masyarakat dengan mengedepankan asas objektivitas, adil dan transparan. Habituasi ini penting mengingat dunia pendidikan menempati posisi strategis untuk mengubah wajah bangsa lebih bermartabat melalui perubahan cara berpikir dan berperilaku masyarakatnya.

Untuk memberikan pelajaran moral tentu guru-guru harus jadi panutan dan teladan. Pembinaan moral di sekolah dapat dilakukan melalui kegiatan bimbingan dan konseling atau pendekatan pada setiap mata pelajaran. Sementara pelajaran agama tidak berhenti pada upaya penyalehan individu, tetapi diperluas pada upaya penyalehan sosial-kemasyarakatan. Dengan sentuhan hati nurani ini diharapkan nilai-nilai moral terkandung dalam ajaran agama dapat membumi dan diaktualisasikan dalam kehidupan sehari-hari. Kebiasaan yang dilakukan siswa sejak dini memiliki signifikansi terhadap perilaku mereka di masa depan.

Dengan terbentuknya generasi madani, bukan saja cerdas intelektualnya namun memiliki kecerdasan spiritual (SQ) dan kecerdasan emosi (EQ) terintegrasi diharapkan bangsa ini keluar dari multi-krisis berlarut-larut. Pendidikan terintegrasi membentuk manusia paripurna yang cerdas, jujur, amanah, dinamis, dan mengedepankan kepentingan bangsa dibanding kelompoknya. Dengan masyarakat madani terbentuk, kita memiliki energi yang cukup untuk melahirkan karya-karya fenomenal membanggakan. Kontribusi terhadap masyarakat dunia, membuat bangsa kita kembali disegani seperti AS dan Soviet, bukan?

Selamat Hardiknas, 2 Mei 2008!! (**)

Penulis,
Guru SDN Taruna Karya 04,
Kec. Cibiru – Bandung,
Pengurus AGP PGRI Jawa Barat

Tidak ada komentar:

Posting Komentar